Halloween Costume ideas 2015

Merumuskan Tujuan Pembelajaran



Oleh: Abdy Busthan

Dalam kebijakan pendidikan nasional yang dituangkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2008 tentang Standar Proses, disebutkan bahwa salah satu komponen dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yaitu adanya "tujuan pembelajaran" yang di dalamnya menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar. Tujuan pembelajaran hendaknya diletakkan dan dijadikan titik tolak berpikir untuk guru dalam menyusun sebuah RPP yang akan mewarnai komponen-komponen perencanan lainnya.

Selanjutnya dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses, disebutkan juga bahwa "tujuan pembelajaran" memberikan petunjuk untuk memilih isi mata pelajaran, menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk dalam memilih alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran (standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa.

Kemudian James Popham & Eva L. Baker (2005) juga menegaskan bahwa, guru profesional harus merumuskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diukur, yaitu dengan menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut sesudah mengikuti pelajaran. Berbicara tentang perilaku siswa sebagai tujuan belajar, kebanyakan para ahli sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom yang dikenal dengan “taksonomi Bloom", (lihat: Bagian III).

Dalam sebuah perencanaan pembelajaran tertulis (written plan/RPP), maka untuk merumuskan tujuan pembelajaran, haruslah dilakukan dengan memenuhi beberapa kaidah atau kriteria tertentu. Karena itu, W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menyarankan dua kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu:

Pertama, preferensi nilai guru, yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara membelajarkannya

Kedua, analisis taksonomi perilaku, sebagaimana dikemukakan oleh Bloom di atas, maka dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat menentukan dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan dikembangkan, apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran kognitif, afektif ataukah psikomotor.

Berkenaan dengan perumusan tujuan performansi, selanjutnya Dick dan Carey (dalam Hamzah Uno, 2008) menegaskan bahwa tujuan pembelajaran haruslah sesuai dengan kriteria, seperti: (1) tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik; (2) menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat untuk hadir pada waktu anak didik berbuat; dan (3) menyebutkan kriteria yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara jelas, maka dalam hal ini, Hamzah Uno (2008) selanjutnya menekankan pentingnya penguasaan guru tentang tata bahasa, sebab dari rumusan tujuan pembelajaran itulah dapat tergambarkan konsep dan proses berpikir dari seorang guru yang bersangkutan dalam menuangkan idenya tentang pembelajaran.

Karena itu, secara garis besarnya, tujuan pembelajaran adalah "bentuk kompetensi" yang nantinya akan dihasilkan dari siswa setelah mengikuti "keseluruhan" proses (termasuk evaluasi) dalam pembelajaran. Kompetensi yang harus dicapai ini kemudian dirumuskan dalam perubahan perilaku yang terukur atau dengan istilah "abjective" (Sanjaya Wina, 2008:232).

Indikator Pencapaian Kompetensi Tujuan Pembelajaran
Merajuk pada pengertian yang dijelaskan di atas, maka tujuan pembelajaran haruslah mencerminkan arah yang akan di tuju, yaitu selama pembelajaran berlangsung. Artinya bahwa arah dalam proses pembelajaran harus mengacu pada tujuan pembelajaran.

Namun, perlu diingat juga bahwa proses pembelajaran dikelola dalam rangka memfasilitasi siswa agar dapat mencapai kompetensi dasar. Pencapaian kompetensi dasar ini akan di ukur dengan tolok ukur kemampuan yang dirumuskan dalam indikator pencapaian kompetensi. Agar kegiatan 'memfasilitasi' ini berhasil dengan optimal, maka arah pembelajaran hendaknya mengacu pada "indikator pencapaian kompetensi".

Dengan demikian, persamaan dari indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran adalah pada fungsi keduanya sebagai acuan arah proses dan hasil pembelajaran. Sehingga nantinya yang dapat terjadi dalam pembelajaran adalah bahwa setiap siswa akan diukur menurut pencapaian kompetensinya. Bagi siswa yang pencapaian kompetensinya belum mencapai kriteria yang ditetapkan (dimana kriteria itu populer dengan nama KKM atau Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal), maka ia akan mendapat pelayanan pembelajaran remidi untuk memperbaiki kemampuannya yang biasanya didahului dengan analisis kesulitan atau kelemahannya, lalu di akhiri dengan penilaian kemajuan belajarnya.

Mengingat bahwa tolok ukur (patokan dasar) yang digunakan dalam pengukuran itu adalah kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi, maka dapat diartikan bahwa indikator pencapaian kompetensi merupakan target kemampuan yang harus dikuasai siswa secara individu atau dengan kata lain bahwa indikator pencapaian kompetensi adalah target pencapaian kemampuan individu siswa.

Berdasarkan pengertiannya, maka tujuan pembelajaran adalah gambaran dari proses dan hasil belajar yang akan diraih selama pembelajaran berlangsung. Ini berarti, bahwa tujuan pembelajaran adalah target kemampuan yang akan dicapai oleh seluruh siswa. Perbedaan dari indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran adalah bahwa kemampuan yang dirumuskan pada indikator pencapaian kompetensi merupakan target pencapaian kemampuan individu siswa. Sedangkan kemampuan yang dirumuskan pada tujuan pembelajaran merupakan target pencapaian kemampuan siswa secara kolektif.

Pertanyaannya, apakah rumusan kemampuan pada tujuan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi selalu sama ataukah dapat berbeda? Dengan mencermati persamaan dan perbedaan dari indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran, maka dapat terjadi keseluruhan rumusan kemampuan pada tujuan pembelajaran sama dengan keseluruhan rumusan kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi. Dengan mengacu pada indikator pencapaian kompetensi sebagai tolok ukur dalam penilaian dan tujuan pembelajaran yang menggambarkan proses dan hasil belajar, maka dapat terjadi kemampuan yang akan di raih siswa selama pembelajaran berlangsung, yaitu dengan targetnya sama dengan kemampuan tolok ukurnya. Jika ini yang terjadi, berarti keseluruhan rumusan tujuan pembelajaran sama dengan keseluruhan rumusan indikator pencapaian kompetensi.

Namun, dapat pula terjadi sebagian rumusan tujuan pembelajaran tidak sama dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi. Mengapa demikian? Hal ini dapat pula disebabkan antara lain diperlukannya proses belajar pendukung agar siswa dapat mencapai kemampuan tolok ukur dengan baik. Dalam hal ini, keseluruhan rumusan tujuan pembelajaran bisa saja tidak sama persis dengan keseluruhan rumusan indikator pencapaian kompetensi, karena ada tujuan pembelajaran lain yang mendukung.

Untuk melengkapi pembahasan ini, berikut akan diberikan ilustrasi persamaan dan perbedaan indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran. Misalnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dipilih Kompetensi Dasar (KD) 3.1, yaitu sebagai berikut:

Kompetensi Dasar :
Memahami wacana lisan melalui kegiatan mendengarkan berita
Lalu, dikembangkan 2 indikator pencapaian kompetensi pada KD di atas, yaitu:

Indikator:
(a) Menyimpul­kan isi berita yang diba­cakan dalam beberapa kalimat
(b) Menuliskan kembali be­rita yang di­bacakan ke dalam bebe­rapa kalimat

Karena dalam hal ini siswa adalah objek pembelajaran, maka guru sebagai subjek, kemudian mengembangkan 2 indikator pencapaian kompetensi pada KD 3.1 diatas, yaitu:

Tujuan Pembelajaran :
(a) Siswa mampu menunjukkan pokok-pokok berita yang didengarkan
(b) Siswa mampu menyarikan pokok-pokok berita menjadi isi berita,
(c) Siswa mampu menyimpulkan isi berita dalam satu alenia

Dari contoh di atas, maka posisi indikator (a) adalah indikator pendukung atau jembatan, yaitu indikator yang tuntutan kemampuannya harus ditunjukkan sebelum kemampun yang dituntut pada KD tercapai. Posisi indikator (b) adalah sebagai indikator kunci, yaitu penanda pencapaian suatu KD dengan target minimal. Tuntutan kemampuan pada indikator kunci mewakili tuntutan kemampuan KD-nya.

Untuk mengukur pencapaian kemampuan dengan tolak ukur indikator (a), maka perlu dilakukan penilaian dengan cara antara lain: memberikan kepada siswa penjelasan tentang arti dan prinsip-prinsip suatu berita, yang kemudian meminta siswa menyimpulkan beberapa berita yang di baca di koran atau di dengar di televisi.

Untuk mengukur pencapaian kemampuan melalui indikator (b), maka perlu dilakukan penilaian dengan cara antara lain: memberikan kepada siswa beberapa bentuk dan contoh berita yang prinsip-prinsip beritanya sudah diketahui sebelumnya pada indikator (a), Menuliskan kembali be­rita yang di­bacakan ke dalam bebe­rapa kalimat.

Sementara penilaian akan dilakukan setelah guru memfasilitasi pembelajaran yang relevan. Pada proses pembelajaran, mengingat bahwa belum pernah belajar tentang memahami wacana lisan melalui kegiatan mendengarkan berita (KD), maka guru perlu memfasilitasi siswa agar terlebih dahulu belajar seperti petunjuk (a) dan (b) di atas. Setelah itu siswa diminta menjelaskan apa yang ditemukan, diikuti dengan berlatih menuliskan wacana lisan melalui kegiatan mendengarkan berita.

Untuk kepentingan itu, maka perlu dirumuskan 3 tujuan pembelajaran yaitu setelah mengikuti pembelajaran diharapkan siswa mampu (a) Menunjukkan pokok-pokok berita yang didengarkan; (b) Mampu menyarikan pokok-pokok berita menjadi isi berita, (c) Mampu menyimpulkan isi berita dalam satu alinea.

Dalam hal pencapaian tujuan (a) dan tujuan (b), maka guru antara lain dapat meminta siswa agar bekerja dalam kelompok yang difasilitasi alat peraga atau LKS dan mempresentasikan hasil ’temuannya’ kemudian berlatih menuliskan pokok-pokok berita menjadi isi berita. Untuk mencapai tujuan (c) siswa dapat di fasilitasi belajarnya secara individual, kelompok atau klasikal, tergantung strategi pembelajaran yang dipilih guru, dalam kaitannya untuk siswa mampu menyimpulkan isi berita dalam satu alinea.

Selanjutnya, bagaimana ruang lingkup kemampuan yang dirumuskan pada tujuan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi? Mengingat tujuan pembelajaran merupakan target pencapaian kolektif, maka rumusannya dapat dipengaruhi oleh desain kegiatan dan strategi pembelajaran yang di susun oleh guru untuk siswanya. Sementara rumusan indikator pencapaian kompetensi tidak terpengaruh oleh apapun desain atau strategi kegiatan pembelajaran yang disusun guru karena rumusannya lebih bergantung kepada karakteristik KD yang akan dicapai siswa.

Perlu diingat, bahwa indikator pencapaian kompetensi menjadi acuan penilaian, yaitu sebagai tolok ukur pencapaian KD, sehingga tujuan pembelajaran harus searah dengan tolok ukurnya dan hendaknya dapat memfasilitasi siswa agar dapat mencapai kemampuan yang dirumuskan oleh tolok ukurnya. Dengan demikian, berarti ruang lingkup kemampuan pada tujuan pembelajaran dapat lebih luas atau sama dengan ruang lingkup kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi. Hal itu sesuai dengan target kemampuan yang akan dicapai pada tujuan pembelajaran, yaitu mencakup proses dan hasil belajar, sementara target kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi adalah target hasil belajar.

Sehingga, tidaklah logis bila ruang lingkup kemampuan pada tujuan pembelajaran lebih sempit dari ruang lingkup kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi. Mengapa? Bila ruang lingkup kemampuan pada tujuan pembelajaran lebih sempit dari ruang lingkup kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi, maka proses memfasilitasi pembelajaran cenderung tidak lengkap atau tidak memadai untuk mengantarkan siswa mampu mencapai kemampuan sesuai tolok ukur.

Merumuskan TIK (Tujuan Intruksional Khusus)
Merumuskan tujuan instruksional dengan jelas, umumnya dianggap sebagai salah satu langkah pertama dan utama yang sangat penting dalam proses perencanaan kurikulum dan pelajaran yang sistemik.

Dick dan Carey (1985) dalam Suparman (2004:158), menjelaskan bagaimana Robert Merger telah merumuskan cara untuk menyusun Tujuan Intruksional Khusus (TIK) dengan susunan kalimat yang jelas dan pasti, serta dapat di ukur. Perumusan TIK ini diungkapkan secara tertulis, dan diinformasikan kepada siswa atau mahasiswa, juga pengajar yang mempunyai pengertian yang sama tentang apa yang tercantum dalam TIK.

Pengembangan teknis penyusunan tujuan pembelajaran Merger adalah dalam format ABCD. Dimana A=Audience (siswa atau audiens dan sasaran didik lainnya), B=Behavior (perilaku yang dapat diamati sebagai hasil belajar), C=Condition (kondisi dan situasi yang ditunjukkan siswa melalui kemampuan yang didapatkan sebagai hasil dari proses belajar-mengajar) dan D=Degree (kualitas dan kuantitas tingkah laku yang ‘diharapkan' untuk dapat dimiliki siswa, atau dapat dikatakan sebagai tingkat penampilan yang dapat diterima siswa/audiens).

Audience, merupakan siswa yang akan belajar, dalam TIK perlu dijelaskan siapa siswa yang akan belajar. Keterangan tentang siswa yang akan belajar tersebut harus dijelaskan secara spesifik mungkin, agar seseorang yang berada di luar populasi yang ingin mengikuti pelajaran tersebut dapat menempatkan diri seperti siswa atau mahasiswa yang menjadi sasaran dalam sistim instruksional tersebut.

Behavior, merupakan perilaku spesifik yang akan dimunculkan oleh siswa setelah selesai mengikuti proses belajar-mengajar. Perilaku ini terdiri dari dua bagian penting, yaitu kata kerja dan objek. Kata kerja lebih menunjukkan bagaimana seorang siswa mendemonstrasikan sesuatu seperti menyebutkan, menjelaskan, menganalisis dan lain sebagainya. Sedangkan objek menunjukkan apa yang didemonstrasikan.

Condition, berarti batasan yang dikenakan kepada siswa atau alat yang digunakan siswa ketika melakukan tes. Kondisi ini dapat memberikan gambaran kepada pengembang tes tentang kondisi atau keadaan bagaimana siswa atau mahasiswa diharapkan dapat mendemonstrasikan perilaku melalui tes, misalnya dengan menggunakan rumus tertentu atau kriteria tertentu. Bisa juga dikatakan di sini, melalui pembelajaran apa, dalam materi apa, siswa dapat mencapai degree.

Degree, merupakan tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai perilaku. Adakalanya siswa diharapkan dapat melakukan sesuatu dengan sempurna tanpa salah dalam waktu dua jam dan lainnya.

Rumusan ABCD di atas, dalam penerapannya, terkadang tidak disusun secara berurutan, namun dapat dibolak-balikkan sesuai kebutuhan. Dalam prakteknya juga, perumusan TIK terkadang hanya mencantumkan dua komponen saja, misalnya A dan B, sehingga ketika di ukur tidak dapat memiliki kepastian dalam menyusun tes.

Untuk lebih jelasnya, contoh analisis perumusan TIK seperti kalimat berikut ini:

“Siswa dapat menunjukkan 5 (lima) tempat penemuan manusia purba di Indonesia dengan menggunakan gambar peta”.

Apabila dirumuskan kalimatnya dalam komponen-komponen ABCD, maka: Siswa merupakan komponen Audiens (A), menunjukkan tempat penemuan manusia purba di Indonesia merupakan komponen Behavior (B); dengan menggunakan gambar peta merupakan komponen Condition (C); dan 5 (lima) tempat merupakan komponen Degree (D)

Contoh lainnya,
"Melalui pelajaran Bahasa Indonesia, siswa diharapkan dapat membedakan pengertian prosa dan peribahasa dengan tepat".

Maka rumusan ABCD adalah: melalui pelajaran bahasa Indonesia (C)//siswa (A)//diharapkan dapat membedakan (B)//pengertian prosa dan peribahasa dengan tepat (D).

Jika diperhatikan, kalimat di atas merupakan bentuk perilaku dalam rumusan tujuan pembelajaran yang dapat terukur. Sebab ditandai dengan kata "dapat membedakan", yang mana kata ini merupakan perilaku yang terukur (spesifik) serta dapat di observasi.

Contoh lainnya lagi,
“Siswa dapat membacakan puisi dengan menggunakan tanda baca yang baik dan benar setelah mengikuti pembahasan materi tentang puisi”.

Apabila rumusan kalimat ini dimasukkan ke dalam komponen- komponen ABCD, maka: siswa, merupakan komponen Audiens (A), membacakan puisi, merupakan komponen Behavior (B), dengan menggunakan tanda baca yang baik dan benar, merupakan komponen Degree (D), setelah mengikuti pembahasan materi tentang puisi, merupakan komponen Condition (C)

Dari contoh di atas, diketahui bahwa siswa dikatakan telah mencapai tujuan pembelajaran apabila siswa tersebut:

Pertama, telah mampu membacakan puisi dengan tanda baca yang baik dan benar. Apabila siswa masih membacakan puisi tanpa memperhatikan tanda baca yang baik dan benar, maka siswa tersebut belum dapat dianggap telah menguasai tujuan pembelajaran atau TIK.

Kedua, dapat menggunakan tanda baca berati bahwa, pada saat guru menuntut siswa untuk mendemonstrasikan kemampuan dalam membacakan puisi sesuai dengan tanda baca yang baik dan benar, maka guru harus memberikan atau mengajarkan bahan materi tentang puisi dengan menjelaskan penempatan tanda baca yang baik dan benar.

Contoh berbeda, “Siswa dapat menyebutkan isi proklamasi dengan teknik pidato”. Maka dirumuskan: siswa merupakan komponen Audiens (A); menyebutkan isi proklamasi merupakan komponen Behavior (B); dengan teknik pidato merupakan komponen Condition (C).

Dari contoh di atas, tampak bahwa rumusan TIK tidak mengandung komponen tingkat ukuran pencapaian (Degree/D). Jika demikian, apakah rumusan tersebut di anggap salah? Tentu saja, tidak! Memang secara ideal, rumusan TIK hendaknya mengandung keempat komponen tersebut. Namun demikian, tidak setiap TIK harus memenuhi empat komponen di atas.

Adakalanya TIK hanya terdiri dari komponen A dan B saja, seperti contoh berikut...“Siswa dapat menyebutkan batas-batas wilayah Kupang” . Jika diuraikan ke dalam komponen-komponen ABCD, maka: siswa merupakan komponen Audiens (A); menyebutkan batas-batas wilayah Kupang merupakan komponen Behavior (B).

Merumuskan Tes Evaluasi Berdasar Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran, atau biasa disebut dengan kompetensi, merupakan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Sehingga guru dalam hal ini harus segera merumuskan item tes sesuai dengan tujuan yang dirumuskan. 

Tentu saja, perumusan tes setelah perumusan tujuan, bukan hanya berguna dalam menentukan indikator keberhasilan saja, tetapi dapat juga untuk mengecek kembali ketepatan rumusan tujuan. Sebagai contohnya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1 Hubungan TP dan Evaluasi Yang Benar


Rumusan Tujuan Pembelajaran
Evaluasi
(Bentuk Tes)
1.Setelah mengikuti pelajaran bahasa Indonesia, siswa dapat menjelaskan pengertian komposisi surat
Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan komposisi surat ?
2.Setelah pembelajaran bahasa Indonesia berakhir, siswa dapat mengemukakan perbedaan antara komposisi surat pribadi dengan komposisi surat resmi
Kemukakanlah pendapat anda tentang perbedaan pengertian antara komposisi surat pribadi dan komposisi surat resmi?


Dari contoh tabel di atas, maka tampak jelas bagaimana perubahan perilaku yang terkandung dalam tujuan pembelajaran yang dapat di ukur. Karena nampak jelas sekali bahwa alat eveluasinya dapat menentukan keberhasilan pembelajaran. 

Artinya, apabila berakhirnya kegiatan belajar, kemudian sebagian besar siswa dapat menjawab dengan jelas apa yang di tanyakan pada kolom evaluasi, maka kegiatan belajar-mengajar dapat dikatakan berhasil. Namun sebaliknya, jika sebagian siswa tidak dapat menjelaskannya, maka kegiatan belajar-mengajar tersebut perlu di revisi karena tidak berhasil. Selanjutnya, coba bandingkan dengan rumusan tujuan pembelajaran berikut ini dengan rumusan tujuan pembelajaran di atas:


Tabel 2 Hubungan TP dan Evaluasi Yang Salah


Rumusan Tujuan Pembelajaran
Evaluasi
1.Setelah mengikuti pelajaran bahasa Indonesia, siswa dapat memahami pengertian komposisi surat
Pahamilah apa yang dimaksud dengan komposisi surat ?
2.Setelah pelajaran Bahasa Indonesia berakhir, siswa dapat mengetahui perbedaan antara komposisi surat pribadi dengan komposisi surat resmi
Ketahuilah pendapat anda tentang perbedaan pengertian antara komposisi surat pribadi dan komposisi surat resmi?

Rumusan item tes pada tabel di atas, merupakan alat evaluasi yang tidak dapat dipahami dan tidak memiliki arti sama sekali. Tampak jelas sekali, bagaimana item tes tidak mencerminkan alat ukur yang baik. Mengapa hal ini dapat terjadi? Tentu saja hal ini terjadi sebagai akibat dari kesalahan dalam merumuskan tujuan pembelajarannya.

Daftar Pustaka: 
Busthan Abdy (2017). Perencanaan Pembelajaran (Hal. 113-126). Kupang: Desna Life Ministry


Post a Comment

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget